Headlines News :
Home » , » Hakekat Demokrasi (3)

Hakekat Demokrasi (3)

Written By Terapkan Tauhid on 8 Juni 2012 | Jumat, Juni 08, 2012


HAKEKAT DEMOKRASI

Pasal Kedua

Ciri ciri utama sistim demokrasi


Sistim demokrasi dapat ditandai dengan beberapa ciri ciri khas yang asasi, yang mana ia tidak akan tegak kecuali dengan ciri ciri tersebut. Sehingga tidak akan disalahkan bila sebuah sistim yang tidak memiliki ciri ciri ini dikatakan sebagai sistim yang tidak demokratis. Ciri asasi yang paling nampak ada dua, yaitu:
  1. Supremasi ada di tangan rakyat/bangsa.
  2. Pengakuan akan hak asasi manusia.

Pertama : Teori Supremasi.
Apa yang dimaksud dengan teori supremasi dalam sistim perpolitikan?

Supremasi adalah kekuasan tertinggi yang menguasai hak untuk membuat hukum (tasyri'), yang tidak mengenal adanya kekuasaan yang sama yang selevel dengannya ataupun yang diatasnya. Ia adalah kekuasaan tertinggi yang berada di atas segala kekuasaan, dan segala sesuatu yang berada di bawahnya wajib mentaati segala perintah dan larangannya.[6]

Siapa pemilik supremasi dalam sistim demokrasi?

Disini muncul pertanyaan, "Siapa pemilik supremasi? Siapa pemilik kekuasaan tertinggi yang paling tinggi dari segala kekuasaan?"

Sistim demokrasi telah menjawab pertanyaan ini dengan jelas sekali dan dengan tegas, ia menjawab: "Sesungguhnya pemilik supremasi adalah bangsa atau umat (rakyat)." Maka dikatakan bahwa supremasi adalah milik bangsa atau umat, atau dengan kata lain yang semakna: Bahwa bangsa adalah sumber segala kekuasaan, atau umat adalah sumber segala kekuasaan. Kekuasaan kekuasaan yang dimaksud adalah:
  • Legislative power (kekuasaan legislatif): fungsinya adalah untuk membuat hukum hukum dan undang undang, meng-amendementnya (mengganti/merubah), menghapusnya dan mengontrol penerapannya.
  • Executive power: fungsinya untuk menerapkan undang undang umum dan administrasi kemasyarakatan.
  • Judicial power (kekuasaan yudikatif): fungsinya adalah untuk mengadili segala permasalahan yang diajukan kepadanya berdasarkan hukum hukum dan undang undang yang telah ditetapkan oleh kekuasaan legislatif.

Bangsa atau umat adalah sumber segala kekuasaan ini, maka ini berarti bahwa hukum dalam arti luasnya, legislatif, yudikatif dan exekutif adalah hanya milik bangsa atau umat.

Oleh karena itu, kalimat: "Supremasi adalah milik bangsa" bermakna: "Bahwasanya hukum adalah milik bangsa" atau "Hukum bangsa" atau "Kekuasaan bangsa".

Telah dijelaskan diatas, bahwa makna ini adalah makna dari kata demokrasi itu sendiri. Lalu apa makna ini semua??? Maknanya adalah bahwa falsafat supremasi di tangan bangsa (rakyat) adalah asas utama dalam pemikiran demokrasi dan penopang utama dalam sistim pemerintahan demokrasi. Karena bila anda memberikan definisi kepada suatu masalah dengan salah satu bagian dari masalah tersebut atau dengan salah satu rukun nya, maka itu menunjukkan atas sifat besar dan urgennya bagian atau rukun tersebut.[7] Dan maknanya lagi adalah, "bahwa tidak ada demokrasi tanpa suremasi di tangan bangsa".

Meskipun terdapat perselisihan antara pendapat yang mengatakan bahwa supremasi berada di tangan bangsa dan pendapat yang mengatakan bahwa supremasi berada di tangan umat, tanpa melihat pada perselisihan ini beserta hasil yang akan dicapai akibat persilihan ini, sesungguhoya dua pendapat ini bersepakat pada masalah pokok. Ketahuilah bahwa masalah pokok tersebut adalah menjadikan supremasi penuh atau kekuasaan mutlak berada di tangan makhluk yang bernama manusia

Lalu apa nama hakiki dari sistim pemerintahan demokrasi?

Berdasarkan keterangan keterangan yang telah lalu, bagi setiap orang yang memahami hakekat Din Islam yang tegak di atas dasar tauhid yjng murni kepada Allah, jawaban dari pertanyaan ini adalah mudah dan gampang dan tidak membutuhkan pembahasan dan penelitian, serta pada saat itu, syiar syiar demokrasi yang tinggi lagi indah itu tidak akan dapat menyembunyikan hakekat yang sangat jelas seperti jelasnya matahari di siang bolong yang menjelaskan nama jenis dari sistim ini.

Sama saja, apakah hukum pada sistim demokrasi adalah milik bangsa atau milik mayoritas orang (sebagaimana yang mereka ngaku ngakui), atau milik suatu level atau suatu kelompok masyarakat tertentu (sebagaimana kenyataannya dalam realita). Juga sama saja, apakah bentuk dari sistim demokrasi ini adalah demokrasi langsung atau tidak langsung atau perlementer, karena keadaan dan bentuk ini semua mempunyai nama yang satu dalam Islam, nama yang jelas lagi tegas, tidak ada kesamaran di dalamnya dan tidak pula ketidak jelasan. Ketahuilah bahwa ia adalah hukum thogut.[8] Nash nash syar'i yang tetap dari Al Kitab dan As Sunnah hanya mengenal dua sistim pemerintahan, yaitu:

  1. Sistim pemerintahan Islam, dan
  2. Sistim pemerintahan thogut.

Dalam sistim pemerintahan Islam, kalimat tertinggi adalah milik Allah Ta'ala yang Maha Tinggi lagi Maha Besar, yang menghidupkan dan mematikan, serta tasyri' (pembuatan syariat/hukum), tahlil (penghalalan), tahrim (pengharaman),memerintah dan melarang hanyalah milik Allah, pemilik kerajaan langit dan bumi. Sedangkan makhluq (baik berupa satu orang atau kelompok atau umat atau bangsa) tidak berserikat sedikitpun dengan Allah yang Maha Besar lagi Maha Tinggi dalam hal ini. Kewajiban makhluq hanyalah mengikuti dan tunduk.

Hal ini termasuk perkara yang sangat jelas seperti jelasnya matahari, di dalam aqidah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rosulullah. Diantara maknanya juga adalah, bahwa supremasi dengan segala kandungannya yang telah dijelaskan diatas adalah hanya milik Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dalil dali syar'i yang menegaskan hal ini adalah sangat banyak. Lihatlah firman Allah ta'ala:

إن الحكم إلا لله


"Tidak ada hukum kecuali milik Allah"

Bentuk ayat ini menggunakan bentuk qoshr (bentuk pembatasan) yang membatasi hukum pada Allah tabaraka wa ta'ala saja, maknanya: tidak ada hukum kecuali hanya milik Allah. Engkau akan mendapati bahwa Allah tabaraka wa ta'ala telah menyebutnya pada lebih dari satu tempat dalam Al Quran. Dia telah menyebutnya dalam surat Yusuf dalam perkataan Nabi Yusuf 'alaihissalam saat beliau menda'wahi dua temannya dalam penjara (pada ayat 40. Pent), Dia juga menyebutnya dalam surat Yusuf akan tetapi dalam perkataan Nabi Ya'kub 'alaihissalam, saat beliau berwasiyat kepada putera putera beliau setelah beliau kehilangan Yusuf (dalam ayat 67. Pent), dan Dia menyebutnya juga dalam surat Al An'am (pada ayat 57. Pent) yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar mengatakannya kepada orang orang musyrikin saat beliau berhujjah di hadapan mereka.

Yang serupa dengan bentuk kalimat pembatasan ini juga, terdapat dalam firman-Nya:

له الحكم


"Segala hukum adalah milik-Nya"

Kalimat ini terdapat pada lebih dari satu tempat dalam Al Quran. Dalam surat Al Qoshosh dua tempat (pada ayat 70 dan 88. Pent), dan dalam surat Al An'am satu tempat (pada ayat 62. Pent). Kalimat ini juga bermakna bahwa tidak ada hukum kecuali milik Allah.

Allah ta'ala berfirman dalam menjelaskan hak istimewa-Nya dalam penciptaan, perintah dan pembuatan hukum:

ألا له الخلق والأمر


"Ketahuilah: Bahwa milik Allah lah urusan penciptaan dan perintah."

Allah ta'ala juga berfirman dalam menjelaskan wajibnya berhukum kepada syariat-Nya":

وأن احكم بينكم بما أنزل الله


"Dan putuskanlah perkara diantara mereka dengan apa apa yang telah Allah turunkan." (Al Maidah :49)

Allah berfirman dalam menjelaskan wajibnya mengembalikan segala perselisihan dan persengketaan kepada hukum-Nya:

وما اختلفتم في شيء فحكمه إلي الله


"Segala yang kalian perselisihkan, maka hukum keputusannya terserah kepada Allah." (As Syura:10).

Hal ini menunjukkan akan tingginya dan agungnya hukum Allah diatas segala hukum.Allah ta'ala berfirman dalam menjelaskan bahwa tidak ada seorangpun yang berserikat dengan-Nya dalam masalah hukum:

ولا يشرك في حكمه أحدا


"Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum (keputusan)." (Al Kahfi : 26).

Allah ta'ala berfirman dalam menjelaskan hak khusus-Nya dalam menetapkan hukum dan bahwa setiap orang tidak berkuasa untuk mengkritik hukum-Nya:

والله يحكم لا معقب لحكمه


"Dan Allah menetapkan hukum (menurut ketetapan-Nya), tidak ada yang dapat mengkritik hukum-Nya." (Ar Ro'du :41).

Semua dalil dalil ini (dan dalil dalil yang lain yang banyak jumlahnya) menunjukkan bahwa tasyri' (pembuatan syari'at/hukum), penghalalan sesuatu, perintah dan larangan hanyalah hak Allah yang Maha Satu dan Maha Kuasa. Inilah potret dari sistim pemerintahan islami yang dicintai dan diridhoi oleh Allah, dan siapa saja yang mengikutinya akan diberikan oleh Allah nikmat berupa pertolongan, kemenangan, kemuliaan dan kebesaran dalam kehidupan dunia beserta apa yang telah dijanjikan bagi mereka di akhirat berupa kenikmatan yang kekal, keselamatan dan keberuntungan abadi.

Dalam sistim pemerintahan thogut, segala urusan perintah dan larangan serta tasyri' adalah milik selain Allah subhanahu wa ta'ala, atau sebagian urusan perintah dan larangan serta tasyri' adalah milik Allah, sedangkan sebagian yang lain milik selain Allah Jalla wa 'Alaa, sama saja apakah sesuatu selain Allah itu berupa satu orang manusia, atau sekelompok orang, atau bangsa, ataupun umat. Dari sini menjadi jelaslah bahwa sistim pemerintahan demokrasi tidak lain adalah salah satu bentuk dari sistim pemerintahan thogut. Dan termasuk hal yang telah diketahui dan telah masyhur bahwa tidak akan benar imannya seseorang dan tidak akan sah Islamnya sampai ia kafir kepada thogut. hal ini karena iman kepada Allah dan iman kepada thogut atau menerima hukum thogut atau rela kepada hukum thogut adalah dua hal yang saling bertolak belakang yang tidak akan pernah berkumpul selama lamanya. Allah ta'ala telah berfirman dalam menjelaskan wajibnya kafir kepada thogut disamping wajibnya iman kepada Allah:

فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقي


"Maka barang siapa yang kafir kepada thogut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang kokoh." (Al Baqarah:256).

Dan Allah telah berfirman untuk membantah orang orang yang mengaku ngaku beriman kepada Allah sedangkan mereka pada saat yang sama ingin berhukum kepada thogut, Allah menjelaskan kedustaan pengaku ngakuan mereka ini:

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang orang yang mengaku ngaku beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada kamu dan kepada apa yang telah diturunkan sebelum kamu? Mereka ingin berhukum kepada thogut, padahal mereka telah diperintah untuk kafir kepadanya. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh jauhnya." (An Nisa:60).

Disini menjadi jelaslah sudah akan wajibnya kafir kepada sistim demokrasi dan jelaslah sudah akan dustanya orang orang yang mengaku ngaku beriman kepada Allah dan beriman kepada apa apa yang telah Allah turunkan kepada Rosul-Nya shollallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan mereka pada waktu yang sama mengumumkan keimanan mereka kepada sistim demokrasi atau mengumumkan penerimaan dan keridhoaan mereka kepada sistim ini.

Oleh karena itu, maka gelar "muslim" dan gelar "demokratis" tidak akan berkumpul pada satu orang selama lamanya. Yang membolehkan atau menerima berkumpulnya dua sebutan ini pada satu orang hanyalah mereka yang bodoh terhadap hakekat Din Islam yang ditegakkan diatas tauhid yang murni kepada Allah dan peniadaan kesyirikan, atau mereka yang bodoh terhadap hakekat demokrasi yang mengandung kekafiran dan kesyirikan kepada Allah yang Maha Satu lagi Maha Kuasa.

Sistim pemerintahan demokrasi bertentangan dengan sistim pemerintahan Islam.

Hukum demokrasi, sebagaimana dengan definisi yang telah diberikan oleh orang orang yang berfaham demokrasi, mengandung dua perkara

  1. Perkara pertama:Merampas hak Allah yang berupa hukum dan perintah, kemudian memberikan kekuasaan atas hal tersebut kepada selain Allah.

    Oleh karena sebab ini, maka hukum demokrasi bertentangan dengan hukum Islam, karena kita telah mengetahui bahwa hukum Islam tegak diatas ketentuan bahwa hukum hanyalah milik Allah saja.
  2. Perkara kedua: tidak adanya pengakuan oleh hukum demokrasi terhadap hukum hukum syar'i dan terhadap kewajiban menerapkannya pada kali pertama. Hukum syar'i adalah hukum yang mencakup hukum hukum Allah, hukum hukum Rosul-Nya shollallahu 'alaihi wa sallam, dan istinbath para mujtahidin dari para fuqaha kaum muslimin yang ber-istinbath dari hukum hukum syar'i dengan ijtihad yang telah Allah izinkan bagi mereka.

    Oleh karena sebab ini juga, maka demokrasi bertentangan dengan hukum Islam. Hukum Islam (seperti yang telah disebutkan diatas) telah mewajibkan pada kali pertama untuk mengamalkan seluruh hukum syar'i yang telah ditetapkan dengan dalil qoth'i atau dalil yang dhonni yang telah disepakati oleh sebagian besar para fuqaha zaman tersebut[9] yang merupakan para pakar ijtihad dan tarjih dengan bersandarkan pada dalil dalil syar'i.

    Kemudian Jama'atul Muslimin dibolehkan untuk membuat peraturan idariyah (administrasi) yang mereka pandang sebagai sesuatu yang lebih mashlahat, lebih bermanfaat dan lebih baik bagi manusia, dengan syarat kandungannya tidak bertentangan dengan hukum syar'i yang tetap, walaupun pada hukum mubah yang telah dijelaskan oleh syariat.

Oleh karena itu, hukum demokrasi berdasarkan definisi dan penerapannya adalah hukum yang menyingkirkan Din secara keseluruhan dari urusan pemerintahan serta menjauhkannya sejauh sejauhnya. Maka demokrasi dengan ketentuan ini, menyerupai sekulerisme.[10]

Asas didirikannya teori supremasi.

Teori supremasi (yang merupakan inti, hakekat dan pokok ajaran demokrasi) yang berujung kepada kesyirikan kepada Allah yang Maha Agung tidak mungkin muncul kecuali dari dasar ilhad (ateis) kafir. Hakekat ini akan terungkap dalam baris baris di bawah ini:

Marilah kita kembali ke zaman awal mula teori ini terbentuk di dunia barat yang nashrani, yang ber-Din dengan aqidah nashrani yang telah dirubah (tidak asli. Pent) dan syariat yang telah diganti, dimana raja raja mereka telah memerintah dengan zalim dan tirani, atas dasar bahwa mereka (para raja) adalah pemilik supremasi berdasarkan mandat ilahi. Para raja telah didukung oleh teori mandat ilahi yang dibuat untuk melegalkan kekuasaan mutlak mereka. Teori ini menyatakan bahwa para raja menyandarlan kekuasan mereka pada mandat ilahi yang telah diberikan kepada mereka, baik mandat secara langsung ataupun secara tidak langsung.

Pada masa yang penuh dengan kezaliman dan kediktatoran mereka, pihak gereja (yang merupakan wakil Din bagi orang orang nashrani) beserta segala kerusakan dan pengrusakan, kesesatan dan penyesatan yang telah terjadi di dalamnya, tidak mampu memunculkan jalan keluar bagi manusia, atau bahkan tidak mampu meminimalkan kezaliman dan kediktatoran para raja serta membatasi kekuasaan mereka. Karena sebenarnya gereja adalah salah satu penopang dari kezaliman dan kediktatoran tersebut.

Sehingga kalangan yang marah terhadap keadaan keadaan ini mulai berpikir (secara jauh dari landasan Din dan tokoh tokoh Din yang ada di tengah mereka). Mereka berpikir tentang cara merampas segala kekuasaan para raja. Tidak ada jalan bagi mereka kecuali mengganti kekafiran dengan kekafiran yang lain, dimana mereka telah berkata: "Supremasi bukanlah milik pribadi para raja, melainkan milik bangsa secara keseluruhan. Maka para raja dan orang orang yang anti raja, semuanya menyuarakan teori supremasi.

Adapun para raja, mereka menjadikannya sebagai milik mereka. Dasar yang mereka jadikan pijakan adalah mandat ilahi.

Sedangkan orang orang yang memprotes (para raja), mereka menjadikan supremasi sebagai hak milik bangsa. Dasar yang mereka jadikan pijakan adalah:

Du Contrat Social (perjanjian sosial masyarakat).

Lalu apa yang dimaksud dengan du contrat social? Diantara orang yang terkenal yang mengumandangkan teori ini adalah tiga orang, yaitu Thomas H, Jhon Locke dan Jean Jacques Rousseau.

Tanpa memaparkan perincian dan perselisihan cara pandang mereka dalam beberapa segi dari teori ini, sesungguhnya teori ini tegak diatas konsep pemikiran yang mengatakan bahwa manusia pada awal mulanya , mereka hidup secara premitif, kehidupan yang tidak teratur. Mereka tidak memiliki hukum yang mengatur mereka, demikian juga tidak ada negara atau organisasi yang mengatur pergaulan mereka dan melindungi urusan urusan mereka. Kemudian dalam fase kehidupan yang selanjutnya, menusia membutuhkan hukum pemerintah dan negara yang mengatur urusan urusan kehidupan mereka. Untuk mencapai hal tersebut, mereka mengikat sebuah perjanjian diantara mereka, dimana mereka rela untuk mengabaikan semua hak hak mereka (atau sebagiannya) demi mengutamakan urusan bersama, yaiu mendirikan kekuasaan yang akan memerintah dan mengatur segala urusan dan pergaulan mereka, serta menjaga hak hak dan kebebasan mereka yang masih tersisa. Kekuasan yang berasaskan konsep ini, tegak berdasarkan kehendak bangsa pemilik supremasi.

Inilah arti dari teori du contrat social. Lalu apa makna sesungguhnya?

Maknanya adalah, bahwa teori ini muncul dari konsep kafir ilhad (ateis). Karena teori ini, baik ia menganggap bahwa manusia muncul tanpa ada yang menciptakannya, dan memulai kehidupan dengan ketidak aturan tanpa adanya syari'at yang membimbing dan tanpa undang undang yang mengatur.

Atau ia mengakui adanya Pencipta, akan tetapi Pencipta (dalam teori ini) tidak memiliki pekerjaan selain hanya mencipta saja. Adapun aqidah bahwa Dia mengutus Rosul kepada manusia yang mengajari, membimbing dan menunjuki mereka, memerintah mereka kepada kebaikan dan melarang mereka dari kejelekan, serta mengatus segala urusan dan pergaulan mereka, maka aqidah ini tidak terdapat dalam teori ini.

Bila aqidah ini ada dalam teori ini, tentu mereka tidak butuh kepada perjanjian yang mereka ikat ini.

Merupakan sesuatu yang telah diketahui secara pasti, bahwa teori du contrat social bertentangan secara menyeluruh dengan Al Quran. Al Quran memberi kabar kepada kita bahwa Allah ta'ala telah menciptakan Adam 'alaihissalam, manusia pertama, kemudian Dia menurunkannya beserta isterinya ke bumi dan Dia telah menurunkan kepadanya syariat, serta Dia telah memerintahkan kepada Adam dan anak anak beliau untuk mengamalkannya, dan Allah azza wa jalla masih mengutus Rosul Rosul-Nya dan menurunkan kitab kitab-Nya untuk memberi petunjuk kepada manusia, membimbing mereka, mengatur urusan dan pergaulan pergaulan mereka. Allah ta'ala berfirman:

ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت


"Dan Kami telah mengutus Rosul pada tiap tiap umat (untuk menyerukan): "Beribadahlah kepada Allah dan jauhilah thogut." (An Nahl:36).

Dan Allah ta'ala telah berfirman:

كلما ألقي فيها فوج سألها خزنتها ألم يأتكم نذير، قالوا بلي قد جاءنا نذير فكذبنا


"Setiap kali dilemparkan ke dalamnya (neraka) sekumpulan (orang orang kafir), penjaga penjaga (neraka) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kalian (di dunia) seorang pemberi peringatan?" Mereka menjawab: "Benar ada, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, lalu kami mendustakannya." (Al Mulk:8-9).

Dan ayat ayat yang lain yang semakna dengan ini. Lalu mana kehidupan premitif yang belum memiliki hukum yang mengatur, sebagaimana yang terdapat dalam teori ini?

Kita tidak perlu berusaha keras untuk menjelaskan bahwa teori ini bersumber dari konsep tashowwur kafir ateis (ilhad), karena cukup dengan mengetahui bahwa Jean Jacques Rousseau, seorang yang paling terkenal dijadikan sandaran bagi teori du contrat social (sampai sampai teorinya ini dianggaq sebagai injil revolusi prancis yang sekuler) adalah seorang tokoh pemikir sekuler di zamannya.

Jika pokok dari teori ini (sebagaimana telah jelas bagi kita) adalah kekafiran dan ateis (ilhad), maka sudah pasti dan tidak disangkal lagi bahwa hasilnya adalah kesyirikan kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Karena ia menetapkan bagi makhluq ciptaan Allah (apa saja bentuknya atau derajatnya atau jumlahnya) hak dalam tasyri' (pembuatan hukum/undang undang) serta tahlil dan tahrim (penghalalan dan pengharaman).

Ringkasan.

Ringkasnya, dibawah naungan sistim pemerintahan demokrasi buatan (manusia), supremasi terkadang berada di tangan pemerintah atau bangsa dalam artian umat atau suatu level masyarakat tertentu sesuai dengan bentuk sistim tersebut. Jadi supremasi dalam semua keadaan ini adalah milik manusia. Maka semua bentuk sistim sistim ini berarti telah merampas kekuasaan Allah, akibatnya ia menjadi kafir dan celaka. Al Haq (Allah) tabaraka wa ta'ala berfirman:

والذين كفروا فتعسا لهم


"Dan orang orang kafir, maka celakahlah mereka."(Muhammad:8).

Sedangkan supremasi di bawah sistim Islam adalah hak Allah ta'ala tanpa seorangpun yang dapat merampasnya. Bila tidak seperti ini keadaannya berdasarkan alasan apapun, maka sistim ini bukanlah sistim Islam walaupun ia membawa nama Islam.[11]



Bersambung


==========================
[6] Al hakim wa ushul al hukmi, halaman:69.

[7] Contohnya: Hadits:

الحج عرفة


"Haji adalah wuquf di 'Arafah."

Sudah maklum bahwa banyak amal amal yang terkandung dalam ibadah haji, tidak hanya wuquf di 'Arafah. Ketika haji didefinisikan dengan nama salah satu bagian yang terkandung di dalamnya, yaitu waquf 'Arafah, maka hal ini menunjukkan akan agung dan pentingnya bagian ini. Contoh hal ini banyak.

[8] Hukum thogut: adalah hukum jahiliyah, yaitu setiap hukum yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rosul-Nya. Thogut adalah syaitan, Ibnul Katsir berkata setelah beliau menukil keterangan diatas dari Umar bin Khatab rodiyallahu 'anhu: "Makna perkataan beliau bahwa thogut adalah syaitan adalah kuat sekali, sesungguhnya ia mencakup segala kejelekan yang dianut oleh orang orang jahiliyah berupa peribadatan kepada berhala berhala, berhukum kepadanya dan istinshor dengannya. (Tafsir Ibnu Katsir 1:319).

Ibnul Qoyyim berkata: "Thogut adalah segala sesuatu yang dengannya seorang hamba melampui batasannya, baik berupa ma'bud (sesuatu yang diibadahi), atau matbu' (yang diikuti), atau mutho' (yang ditaati). Thogut setiap kaum adalah siapa saja yang mereka berhukum kepadanya, selain Allah dan Rosul-Nya, atau siapa saja yang mereka ibadahi selain Allah, atau siapa saja yang mereka ikuti tanpa bashiroh dari Allah, atau yang mereka taati dalam hal yang mereka tidak mengetahui bahwa hal itu adalah ketaatan kepada Allah. (i'lamul muwaqi'in 1:52).

[9] Kesepakatan sebagian besar fuqaha suatu zaman atas sebuah dalil dzonni bukanlah merupakan sebuah syarat untuk mengamalkan hukum syar'i yang terkandung dalam dalil ini.

[10] Kawasyif zayyuf, halaman 294-295.

[11] Al hakim wa ushul alhukmi fi an nidhom al islamiy, halaman 82.
Ikut andil dalam berda'wah, sebarkan :

+ comments + 1 comments

02 Juli, 2012

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

Posting Komentar