Kedua : Menetapkan hak dan kebebasan serta menjaminnya
Kami tidak perlu (dalam pembahasan ini) untuk menguraikan secara panjang lebar tentang makna dari kebebasan dalam sistim demokrasi, atau bersandar kepada pembagian pembagiannya, atau menjelaskan urutan urutannya berdasarkan sifat pentingnya, atau hal hal yang lain. Yang perlu kami sampaikan disini adalah dua hal, yaitu:
Pertama: Bahwa sistim demokrasi telah mengakui (minimal secara tertulis dalam undang undang) beberapa bentuk hak dan kebebasan dalam jumlah yang tidak sedikit, seperti kebebasan berpikir, kebebasan berkeyakinan, kebebasan pribadi, hak kepemilikan, hak bekerja, bertempat tinggal, pindah, mengajar, serta hak dan kebebasan lainnya. Dengan pengakuan ini, sistim demokrasi bertentangan dengan sistim diktator yang tidak mengakui satupun dari hal hal ini. Dan dengan pengakuan ini, maka 'cahaya' demokrasi semakin cemerlang di mata banyak orang yang tidak mempunyai pengetahuan yang benar tentang sistim Islam, dan hal ini karena dua sebab, yaitu:
Sebab pertama, karena keberadaan sistim pemerintah yang zalim dan thogut serta berlaku diktator di banyak negeri negeri kaum muslimin, yang tidak melindungi hak hak dan tidak memberikan keamanan, yang tidak segan segan menyerang dan menghukum siapa saja yang diduga memiliki pemikiran yang bertentangan dengannya, atau siapa saja yang menuntut hal hal yang masyru' yang telah dibebankan oleh sistim Islam.
Sebab kedua, tidak adanya pengetahuan yang baik dan kesadaran terhadap akibat dan hasil yang dicapai dari hak hak dan kebebasan kebebasan yang berada dalam sistim demokrasi.
Disini kami perlu untuk membicarakan sebagian dari akibat dan hasil hasil ini:
Dalam bidang i'tiqod (keyakinan), setiap orang dalam sistim demokrasi berhak untuk ber-Din (beragama) sesuai dengan yang ia kehendaki dari berbagai macam keyakinan, millah dan pemikiran, serta tidak ada celaan baginya. Tidak ada perbedaan (dalam sistim demokrasi) bila seseorang ber-Din dengan Din yang berasal dari wahyu Ilahi atau ber-aqidah dan ber-fikroh dengan aqidah hasil ciptaan manusia. Demikian juga, dibawah naungan hak dan kebebasan ini, seseorang diperbolehkan menggonta ganti Din atau aqidah atau millah atau aliran sesuai dengan kehendak hatinya. Tidak ada sedikitpun ikatan dalam hal ini, bahkan bila ia memiliki aqidah yang berbeda di setiap hari. Hak seperti ini menurut mereka adalah termasuk hak yang tidak boleh dibatasi. Murtad termasuk hak yang wajib dilindungi dan merupakan kebebasan bagi setiap orang!!!
Saya masih mengingat suatu kegaduhan yang menyebar dalam sebuah negeri Arab yang mengangkat syiar demokrasi, yaitu ketika sebagian wakil rakyat membuat draft rancangan yang diajukan ke majelis parlemen untuk menegakkan hukunam had riddah (kemurtadan). Bagaimana hal tersebut ditentang dengan serangan bertubi tubi dari media cetak, walaupun draft tesebut telah didukung oleh para ulama ulama resmi senior.
Saya tidak perlu untuk menyebutkan kepada anda bahwa draft tersebut telah terkubur dan telah berakhir urusannya. Itu semua karena hukum had syar'i yang telah disyari'atkan oleh Dzat yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui bertentangan dengan apa yang mereka anggap sebagai kebebasan berkeyakinan yang dilindungi oleh sistim demokrasi.
Bila demokrasi memberikan kepada setiap muslim kebebasan berkeyakinan (secara tertulis dalam undang undang), maka pada saat yang sama, iapun memberi kebebasan untuk murtad dari Din, sebagaimana ia telah memberikan kepada selain orang Islam kebebasan untuk kafir dan ateis.
Dan perlu untuk diketahui, bahwa kebebasan berkeyakinan bagi seorang muslim dalam sistim demokrasi, itu hanyalah berpijak pada pemahaman orang nashrani barat terhadap masalah aqidah, dimana mereka membatasinya hanya pada masalah iman kepada adanya Allah ditambah dengan ibadah ibadah yang bersifat pribadi. Adapun hukum hukum selain itu, yang mengatur urusan urusan manusia dan pergaulan mereka, maka hal itu tidak termasuk dalam kebebasan berkeyakinan. Dalam urusan ini, seorang muslim harus tunduk kepada undang undang buatan yang dianggap sebagai wujud kehendak bangsa. Padahal Islam adalah Din yang universal dan sempurna. Hukum hukumnya dan syari'at syari'atnya mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan urusan dunia dan urusan urusan akhirat. Maka menjadi sangat jelas sekarang akan batilnya perkataan yang menyebutkan bahwa demokrasi tidak menghalangi setiap orang muslim untuk beriltizam (berkomitmen) secara total kepada hukum hukum Islam.
Bila kita berhenti dari pembicaraan pada masalah i'tiqod, dan kemudian pindah ke pembahasan masalah akhlak, maka kita akan melihat (di bawah naungan sistim demokrasi) segala perbuatan hina dina dan kebejatan akhlak telah menjadi hak asasi dan kebebasan.
Zina merupakan salah satu bentuk hak dan kebebasan. Melakukan aksi buka bukaan secara terang terangan di jalan jalan adalah juga termasuk hak dan kebebasan bagi semua orang. Demikian juga perbuatan homoseks, bukan merupakan sesuatu yang aib dan tercela, bahkan termasuk hak yang terjaga dan terlindungi oleh kekuatan undang undang. Mungkin karena buruknya gambaran ini, sebagian orang akan menyangka bahwa uraian ini terlalu di besar besarkan. Oleh karena itu, sudah seharusnya masalah masalah ini diungkapkan agar pembaca dapat mengetahui benar mengenai masalah ini.Al Ustadz Muhammad Qutb berkata:
"Kebabasan manusia untuk membuat kerusakan adalah kebebasan yang dilindungi oleh undang undang! Perilaku seks adalah masalah pribadi yang paling privasi, dan undang undang tidak dapat ikut campur dalam masalah ini sama sekali, kecuali pada kasus pemerkosaan. Karena kasus ini terjadi dengan pemaksaan bukan dengan suka sama suka. Sedangkan hubungan apapun (secara mutlak) yang terjadi karena suka sama suka, maka undang undang tidak dapat ikut campur di dalamnya, demikian juga masyarakat atau siapapun juga tidak dapat ikut campur. Sama saja, apakah hubungan seks ini hubungan seks normal, atau hubungan seks yang nyeleneh. Juga sama saja, apakah hubungan ini bersama seorang remaja perempuan atau bersama wanita yang telah bersuami. Urusan ini adalah urusan pribadi pelaku hubungan seks tadi, bukan urusan orang lain.
Hutan hutan, taman taman umum adalah lahan tempat berbagai macam perilaku seks, apalagi di hotel hotel dan di rumah rumah. Semuanya menjadi arena yang penuh dengan kerusakan yang dilindungi oleh undang undang, yaitu undang undang demokrasi. Beberapa tahun lalu, telah dilangsungkan di sebuah geraja Belanda, akad nikah antara pemuda dan pemuda di tangan seorang pendeta !
Demikian juga beberapa tahun yang lalu, ditayangkan dalam sebuah theatre Amerika (dan dalam televisi) sebuah drama yang menampilkan adegan seks secara komplit sebagai salah satu bagian dari drama tersebut. Para penonton (atau orang yang datang untuk sengaja menonton) dapat melihat seorang laki laki dan seorang wanita yang melakukan adegan seks di hadapan mata mata mereka, dan adegan inipun ditampilkan di televisi.
Juga beberapa tahun yang lalu, ditampilkan dalam sebuah siaran televisi Inggris sebuah dialog seks yang mengikutsertakan beberapa puluh remaja putri. Tema dialog ini adalah bertanya kepada mereka tentang posisi seks yang lebih mereka sukai. Kemudian para remaja putri tadi menjawab dengan blak blakan dan tanpa rasa malu, yang dapat menggetarkan badan orang yang masih memiliki rasa malu. Sedangkan perempuan perempuan tersebut, mereka berbicara tanpa rasa malu sedikitpun."[12]
Uraian panjang yang telah dinukilkan diatas telah menyingkap bagi kita salah satu sisi kebobrokan moral yang merupakan salah satu karekteristik utama bagi sistim demokrasi. Anda tidak akan mendapati sebuah sistim demokrasi kecuali pasti di dalamnya terkandung kerekteristik ini, yaitu kebebasan untuk bebas dari segala ikatan moral.
Maka tidaklah aneh jika anda mendapati demokrasi dengan semua versinya, yaitu versi barat yang diterapkan di negara negara barat yang kapitalis, dan versi timur yang diterapkan di negara negara timur yang komunis dan sosialis, meskipun kedua macam demokrasi ini memiliki perbedaan mencolok dalam masalah kebebasan secara umum, akan tetapi keduanya sepakat dalam masalah kebebasan seks.
Dan mungkin tepat bila kami menyebutkan juga disini sebagian peraturan yang terkandung dalam undang undang negara Arab yang mengangkat syiar demokrasi.
Salah satu pasal dalam undang undang ini menetapkan bahwa: "Undang undang tidak akan menghukum pelanggaran menodai kehormatan bila perempuan tersebut telah baligh dan perbuatan tersebut dilaksanakan atas kerelaannya."
Pasal yang lain mengatakan: "Bila suami berzina dengan wanita lain di rumah milik isterinya, maka isterinya tersebut berhak untuk berzina dengan siapapun juga yang ia kehendaki dan tidak ada celaan baginya bila ia mengerjakan hal itu."
Hal ini semua terjadi atas nama siapa? Atas nama DEMOKRASI dan KEBEBASAN!
Bila kita mengalihkan pandangan ke arah masalah ekonomi, maka kita akan mendapati demokrasi tegak diatas madzhab individualisme, yang memberikan kepada setiap individu kebebasan mutlak dalam pekerjaan, kepemilikan, dan kekayaan, tanpa ikatan, aturan dan akhlak. Riba dan menimbun harta serta cara cara yang syubhat adalah cara yang mulia lagi masyru' untuk mendapatkan harta. Setiap orang juga bebas secara mutlak dalam membelanjakan harta yang ia dapatkan, walaupun untuk kerusakan dan kerendahan. Disana tidak terdapat tujuan kemasyarakatan yang terpuji yang dapat dicapai dari kepemilikan harta. Orang faqir atau miskin atau orang yang membutuhkan harta tidak memiliki hak sedikpun dari harta milik orang kaya.
Juga negara tidak dapat ikut campur dalam usaha perekonomian setiap individu. Negara berperan sebagai penjaga saja.
Madzhab individualisme (dalam naungan sistim demokrasi) telah membebaskan pemilik modal dari segala keterikatan kepada akhlak dan tujuan tujuan yang terpuji. Demikian juga ia telah menjadikan termasuk dari hak manusia untuk mendapatkan kekayaan tidak terbatas yang ia kumpulkan untuk dirinya sendiri tanpa menengok kepada masyarakat atau orang orang yang disekitarnya.
Benar, bahwa telah didapati beberapa faktor penyebab (yang tidak perlu untuk disebutkan disini) yang menjadikan negara ikut campur dalam usaha pereknomian setiap individu demi menutup celah yang mereka dapatkan dalam perjalanannya. Akan tetapi keikut campuran ini diatur berdasarkan undang undang buatan yang tegak diatas teori supremasi.
Bila kita mengalihkan pandangan kepada masalah hubungan antar negara atau hubungan internasional guna melihat potret negara demokrasi beserta kelakuannya terhadap bangsa bangsa yang lebih lemah darinya, maka kita akan mendapatinya sebagai potret negara yang tidak mengakui akhlak atau amanah atau hak atau keadilan atau kebebasan. Jika seandainya akhlak atau amanah atau hak atau keadilan atau kebebasan merupakan unsur utama dari sistim demokrasi, maka pasti hal tersebut nampak pada pergaulannya dengan bangsa bangsa dan negara negara yang lemah.
Contohnya, negara negara barat yang telah menjajah negara negara Arab, yang telah memakan hasil hasil kekayaannya, yang telah menjarah hasil hasil buminya, yang telah membunuh putera puteranya, adalah merupakan negara negara demokrasi sejak dahulu sampai sekarang, yang mengangkat syiar syiar demokrasi dan bernyanyi dengannya. Lalu apakah dalam demokrasi terdapat akhlak, atau amanah atau keadilan atau hak atau kebebasan atau yang lainnya yang dapat diteriakkan oleh para da'i da'i demokrasi agar dapat menghentikan negara negara demokrasi dari menghancurkan negara negara yang lebih lemah tanpa dosa dan kesalahan?
Sekarang mari kita lihat, negara negara mana yang berada di belakang negara yahudi yang membunuh kaum muslimin di Palestina dan di tempat tempat lainnya? Siapa yang memberikan senjata kepadanya yang ia gunakan untuk membunuh, menjajah dan merampas bumi kaum muslimin? Siapa yang membantunya dalam hal itu semua, serta siapa yang menyediakan bantuan ekonomi dan pendanaan kepadanya? Bukankah yang melakukan hal itu semua adalah mereka yang mengangkat syiar syiar demokrasi?
kedua: Perkara kedua yang hendak kami jelaskan yang berkaitan dengan masalah hak dan kebebasan dalam sistim demokrasi adalah:
Asas bermulanya hak dan kebebasan.
Pada hakekatnya, akibat dan hasil yang dicapai oleh hak dan kebebasan dalam sistim demokrasi, yang telah disebutkan sebagian darinya, walaupun terasa asing bagi mereka yang tidak mengetahui hakekat demokrasi, itu semua karena asas ditegakkannya hak dan kebebasan tersebut adalah asas kafir ateis ! Sebagaimana halnya asas dari supremasi bangsa.Adapun asas ditegakkannya hak dan kebebasan dalam sistim demokrasi adalah sebagai berikut:
- Teori Du Contrat Social, kami telah berbicara tentang hal ini diatas dan bagaimana hal ini muncul dari aqidah ateis.
- Hukum Tabeat
Hukum tabeat menyatakan bahwa manusia memiliki hak hak yang tidak akan mungkin dapat dipisahkan darinya, ia mendapatkan hak hak tersebut sejak ia dilahirkan. Ia menikmati hak hak ini sebelum berkembangnya sistim sistim politik dan berdirinya negara negara. Bahkan negara negara didirikan hanya untuk menjaga hak hak ini. Oleh karena itu, negara wajib menghormati hak ini serta tidak mengeluarkan undang undang apapun yang dapat menyentuh hak hak ini atau menjadi penghalang dalam menikmati hak hak ini. Jadi sumber undang undang buatan ini adalah tabeat.[13] Pemikiran ini, sebagaimana telah dimaklumi, tegak diatas dasar ateisme karena ia menjadikan tabeat (yang merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah) sebagai sumber undang undang yang memberikan kepada manusia hak dan kebebasannya!
Jika telah jelas pokok pokok yang menjadi sandaran bagi hak dan kebebasan dalam sistim demokrasi, maka menjadi jelas juga bagi kita hasil dari kebebasan ini, yang sebagian diantaranya telah disebutkan di atas.
Dan mungkin akan jelas juga bagi kita akan mustahilnya memisahkan antara kebebasan dan hak yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima. Ini karena asas dari hal itu semua adalah sama.
Saya akan memberikan contoh dari hal itu:
Belajar adalah termasuk sebuah hak (dalam sistim demokrasi). Terkadang hal ini dianggap sebagai sesuatu yang baik dan bagus, karena dengan hak ini, manusia dapat menghilangkan kebodohan dari dirinya serta dapat memperluas pengetahuannya terhadap hal hal yang bermanfaat. Ini adalah salah satu bentuk penerapan dari hak belajar. Bentuk lain dari penerapan hak ini (dalam sistim demokrasi) adalah dengan mempelajari kekafiran dan madzhab madzhab sesat yang ateis lainnya, ini adalah hak yang dilindungi juga. Seseorang boleh mempelajari kekafiran, mengajarkannya ke orang lain, menganggapnya sebagai kebaikan dan menyeru kepadanya. Siapapun juga tidak dapat memisahkan antara hal ini dengan hal itu, lalu kemudian berkata: "Boleh atau wajib mempelajari kebaikan yang bermanfaat, dan tidak boleh mempelajari ateisme, kekafiran, dan kefasikan." Karena asas dari hak ini telah membolehkan ini dan juga telah membolehkan itu.
Yang ingin kami tegaskan disini adalah: Bila kita berada pada sisi positif dari hak dan kebebasan, kita tidak dapat menentang sisi yang lain dan tidak dapat mengingkari keberadaannya dalam sistim demokrasi. Disini kami berharap agar semua orang dapat mengetahui dua hal:
Yang pertama, bahwa dalam sistim demokrasi, kita akan mendapati hak hak dan kebebasan kebebasan, yang baik ataupun yang jelek, yang bermanfaat ataupun yang berbahaya, adalah campur aduk dan bahkan telah menyatu yang tidak dapat dipilah pilah lagi, karena asas yang dipakai untuk membolehkan hak dan kebebasan yang baik adalah asas yang sama yang dipakai untuk membolehkan yang buruk dan yang jelek
Adapun yang kedua, bahwa ketika kami menyeru anda sekalian untuk kafir kepada sistim demokrasi, berbaro' darinya serta tidak menerimanya dan tidak ridho (rela) kepadanya, itu tidak berarti kami mengembalikan anda sekalian kepada sistim sistim yang zalim dan diktator yang memberlakukan berbagai macam kezaliman dan kediktatoran terhadap negeri dan bangsanya. Akan tetapi yang kami harapkan adalah mengembalikan anda kepada sistim Islam, sistim kebenaran, sistim keadilan, sistim kebaikan, sistim yang mana segala hak dan kebebasan yang terkandung didalamnya adalah berasaskan kepada izin dan keridhoan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha besar, yang dapat diketahui melalui nash nash syar'i yang ma'shum (terjaga dari kesalahan), yaitu Al Kitab dan As Sunnah. Disebabkan karena berasaskan kepada izin dan keridhoan ini, maka segala hak dan kebebasan dalam sistim Islam adalah murni kebaikan, terlepas dari sifat aib dan cacat, dan merupakan hak dan kebebasan yang membawa kemashlahatan bagi personal dan masyarakat, yang seimbang dan tiada tirani di dalamnya, juga sempurna dan tiada perselisihan di dalamnya.
Prinsip pemisahan antar-kekuasaan.
Pembicaraan diatas adalah tentang masalah hak dan kebebasan dalam sistim demokrasi, kita telah membahasnya berdasarkan pemahaman Islam tentang hakekatnya, tanpa tertipu oleh sisi sisi positif darinya dan tanpa kecenderungan kepadanya, karena hak dan kebebasan yang kita miliki (dalam sistim Islam. pent) adalah murni kebaikan semuanya dan tidak mengandung kejelekan, serta sempurna tidak tidak mengandung kekurangan, oleh karena itu maka kita tidak membutuhkan dan tidak cenderung kepada selainnya.
Adapun pembicaraan tentang jaminan hak dan kebebasan dalam sistim demokrasi, maka sistim ini telah menjaminnya melalui cara pemisahan antar tiga kekuasaan yang ada, yaitu kekuasasaan legislatif, kekuasaan yudikatif dan kekuasaan eksekutif. Hal ini agar tidak dimonopoli oleh salah satu dari kekuasaan kekuasan tersebut, sehingga ia berlaku tirani, diktator dan tidak mengakui hak dan kebebasan.
Disini, kami tidak perlu membicarakan:
- Apakah prinsip pemisahan antar kekuasaan ini benar benar telah berfungsi untuk mencegah pemerintah dari penyalahgunaan kekuasaan?
- Apakah prinsip ini merupakan faktor penting untuk menciptakan keseimbangan antara kekuasaan kekuasaan yang ada?
- Apakah prinsip ini mempunyai andil atau pengaruh dalam perjalanan roda kepemerintahan, lambatnya pergerakan serta ketidak aturannya?
- Apakah belum pernah terjadi bahwa salah satu dari kekuasaan ini telah menggunakan wewenangnya untuk meniadakan atau merampas wewenang salah satu dari dua bentuk kekuasaan yang lain?
- Apakah ini adalah satu satunya jalan untuk menjamin hak dan kebebasan?
- Apakah sistim demokrasi masih mengimani prinsip "pemisahan antar kekuasan" ataukah ia sudah mulai meninggalkannya karena tuntutan realita dan pengalamannya?
Kami tidak perlu (di sini) untuk membahas dan mendiskusikan hal hal ini, karena prinsip ini hanyalah merupakan sebuah wasilah untuk mencapai suatu tujuan, bagi kami hal ini termasuk dari hukum hukum cabang, sedangkan tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mendiskusikan pokok ajaran demokrasi, bukan cabangnya. Oleh karena itu, kami (di sini) tidak perlu mendiskusikan prinsip ini.
Yang ingin kami tekankan adalah (dan merupakan sesuatu yang telah diketahui oleh setiap muslim) bahwa tasyri' (pembuatan syaria't/undang undang) dalam Islam adalah hak khusus milik Allah subhanahu wa ta'ala, dan Allah tidak memberikan izin kepada kita (dan kepada seluruh makhluk. pent) untuk ikut dalam masalah ini, kecual dalam ijtihad yang didasari dengan wahyu yang ma'shum dari Al Kitab dan As Sunnah. Dan telah dimaklumi, bahwa ijtihad (dalam Islam) adalah hak setiap muslim yang telah memiliki alat alatnya dan telah terpenuhi syarat syaratnya, baik ia seorang pemerintah atau yang diperintah (rakyat).
Kemudian, setelah meniadakan wewenang tasyri' dari diri manusia sebagai makhluk ciptaan, maka sesungguhnya sistim Islam tidak mengenal prinsip "pemisahan antar kekuasan". Terkandang pernyataan ini bagi mereka yang telah terpengaruh penyakit, menjadi sumber celaan. Mereka mengira bahwa sistim mereka adalah kebenaran yang tidak memiliki cacat, hingga mereka menjadikannya sebagai percontohan untuk mengkritik sistim Islam !Tidaklah mengherankan setelah itu bila anda mendapati seseorang dari mereka tanpa sedikitpun rasa malu menghina sistim politik Islam: sistim khilafah, karena tidak mengambil prinsip ini yang terdapat dalam ilmu perundang undangan barat !
Lihatlah apa yang dikatakannya dalam masalah ini: "Sistim Khilafah (dengan bentuk yang telah digambarkan oleh para fuqoha) tidak mengambil prinsip pemisahan antar kekuasaan, untuk menyelisihi sistim perundang undangan barat. Seorang khalifah adalah pemilik tiga kekuasaan ini, ia boleh mengumpulkan semua kekuasaan ini. Dan ini adalah salah satu kekurangan, bahkan bisa jadi kekurangan dan kritikan terbesar yang dinilai oleh sebagian orang terhadap sistim khilafah, karena sistim khilafah tidak mengambil prinsip ini yang dianggap oleh ilmu perundang undangan barat sebagai penjamin terbesar untuk menjaga kebebasan."[14]
Maka kami mengatakan kepada orang ini dan kepada mereka yang semisal dengannya, bahwa celaan dan kekurangan dari sistim khilafah yang ia anggap ini, sesungguhnya ilmu perundang undangan modern (setelah pengalaman yang telah ditempuh) memutuskan untuk mengambilnya, dan ini berdasarkan persaksian dari ahlinya sendiri, dimana ia telah berkata: "Sesungguhnya sistim perpolitikan sekarang sudah tidak lagi meyakini secara mutlak terhadap prinsip pemisahan antar kekuasaan, tetapi sudah mulai mengarah untuk memperkuat sisi eksekutif serta memperluas kewewenangannya sampai pada bidang legislatif, tanpa menimbulkan efek pembunuhan terhadap kebebasan (sebagaimana yang dikatakan ahli ilmu perundang undangan modern)."[15]
Dan kami nukilkan lagi persaksian dari ahli perundang undangan modern, dimana ia berkata: "Telah habis masa praktek bagi prinsip pemisahan antar kekuasan pada sebagian besar pemerintahan demokrasi dengan kedua bentuknya: yaitu pemisahan mutlak dan pemisahan nisbi...[16] Maka selayaknya bagi kita untuk mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tidak diambilnya oleh sistim Islam prinsip pemisahan antar kekuasaan 'ala sistim demokrasi adalah termasuk dari sifat kesempurnaan dan keutamaan sistim Islam dibanding dengan sistim sistim lain."
Bersambung
============================[12] Madzahib fikriyah mu'ashiroh, halaman: 216.
[13] Lihat Hurriyatu Ar Ro'yi, halaman :108. Dari buku Ushul Al Fikri As Siyasiy, halaman 74 dan seterusnya.
Setelah menyebarluasnya pemikiran ateis di dunia barat, nama Allah disingkirkan (na'udzu billahi min dzalik. pent). Mereka mulai menyandarkan segala sesuatu kepada tabeat (seperti menyandarkannya kepada Allah), bertolak dari anggapan bahwa tabeat adalah sang pencipta, atau sebagai pengganti yang dapat diterima dan masuk akal (bagi mereka) dari aqidah "Allah adalah Pencipta. Yang perlu untuk disebutkan adalah bahwa istilah penisbatan kepada tabeat adalah "thob'iy" dan bukan "thobi'iy".
[14] Mabadi-u Nidzom Al Hukmi Fi Al Islami, halaman 236, tulisan DR Abdul Hamid Mutawali, dinukil dari Ta'shil Wa Tandhim As Sulthoh, halaman 120. Perkataan dia: "Seorang khalifah adalah pemilik tiga kekuasaan ini" adalah sebuah kebodohan dan pencampur-adukan. Telah kami sebutkan diatas bahwa tasyri' (pembuatan syari'at/undang undang) bukan wewenang seorang khalifah dan bukan pula wewenang masyarakat. Yang dimiliki oleh khalifah hanyalah ijtihad, dan ini sebagaimana yang telah kami sebutkan adalah hak yang tidak terbatas bagi personal tertentu, baik ia khalifah atau bukan, melainkan hak milik setiap muslim sesuai dengan kaedah kaedahnya yang telah diketahui.
[15] An Nadhoriyah Al Islamiyah Fi Ad Daulah, halaman 443.
[16] Ta'shil Wa Tandhim As Sulthoh, halaman 120.
Posting Komentar